Sabtu, 14 Mei 2011

Perintah Dakwah Berjama’ah.



وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ ۚ وَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya : Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.
Ibnu Abbas radhiyallahu anhu menafsirkan kata ummatin dengan arti jama’ah, sehingga untuk mengamalkan atau mewujudkan isi ayat ini telah diperintah oleh Allah subhanahu wata’ala suatu jama’ah dari kaum muslimin, agar dibentuk jama’ah dakwah. Jika dakwah dilaksanakan secara sendiri-sendiri, maka ummat tidak kenal kehebatan Allah, tetapi kenal akan kehebatan orang yang berdakwah. Jadi ajakan walaupun terlihat berbicara kebesaran Allah, tetapi hasil pendengar akan mengagumi yang bicara. Karenanya dakwah secara infiradi/sendiri-sendiri/perorangan pada hakekatnya mengajak orang pada diri sendiri.

Contohnya Meiji Mehrob, Masyaikh Pakistan (almarhum), pernah berkata kepada orang-orang ketika di jalan Allah, “Kalian tahu di Nizzammuddin itu ada seorang wali, kalian datang kesana dan minta doa kepada dia.” Ini karena di daerah tersebut pengkultusan terhadap seorang wali untuk minta air agar di doakan dan diberi kesembuhan dan keberkahan suatu hal yang biasa. Singkat cerita puluhan orang tertaskyl untuk datang ke markaz Nizzammuddin bertemu Syaikh Ilyas. Sampai di Nizammuddin, melihat orang-orang datang, yang dipikir Syaikh Ilyas untuk berangkat fissabillillah. Ternyata setelah ditafakkud oleh Syaikh Ilyas, para tasykilan Meiji Mehrob ini hanya terseyum dan tertawa kecil saja, karena tujuan mereka datang untuk minta doa saja kepada Syaikh Ilyas. Mendengar hal ini seperti Maulana Ilyas marah lalu memanggil Meiji Mehrob. Syaikh Ilyas berkata kepada Meiji Mehrob, “Kamu ini telah merusak kerja dakwah pada hari ini, kamu telah mengarahkan mahluk kepada mahluk.” Jadi arahkan orang-orang ini kepada kerja bukan kepada pribadi-pribadi. Contoh : “Mari pak kita ke Banjarmasin, disana ada ustadz Luthfi, itu pembesar dakwah.” Atau “Mari pak kita ke temboro, disana ada Kyai Udzairon, itu pembesar dakwah”. Ini yang mentaskyl orang dengan cara seperti ini adalah pengrusak-pengrusak dakwah.
Kekuatan ijtima’i amal adalah satu kerja, satu fikir dan satu hati. Jika pada ummat sudah jadi satu dalam tiga perkara tersebut di seluruh dunia, barulah dinamakan JAMA’AH, dan tidak dibatasi wilayah territorial, tidak dibatasi majelis ta’lim, ataupun tidak dibatasi suatu organisasi atau yayasan. Jika hal ini sudah terjadi yaitu ummat di seluruh dunia sudah ada kerja dakwah dengan satu kerja, satu fikir dan satu hati, maka berlaku yadullah ma’al jama’ah  artinya tangan/pertolongan Allah bersama jama’ah.



ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا ۖ فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ ذَ‌ٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
Artinya : Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.(QS Fathir 32)
Dalam ayat ini Allah menyebutkan bahwa pewaris kitab ummat ini ada tiga yaitu :
1.       Orang dhalim, pencuri, penzina, penipu, koruptor, preman dan sebagainya
2.       Orang yang pertengahan adalah kadang-kadang baik kadang kadang jahat
3.       Orang yang bersegera dalam kebaikan, seperti para ulama dan orang shaleh
Yang semuanya bersatu membuat suatu kerja dakwah berjama’ah ke seluruh alam. Tidak heran kalau suatu saat mantan preman atau koruptor menjadi peng-ishlah/memperbaiki orang lain. Misalnya diantara jama’ah ada mantan preman, kemudian datang bersilaturrahim kepada orang yang dianggap sebagai ustadz. Dan kita telah banyak mengetahui ketika usaha dakwah dikerjakan dengan ijtima’i berapa banyak perbaikan-perbaikan dalam ummat Islam?
Dakwah yang dilakukan dengan berjama’ah bukan menyamakan semua orang menjadi satu model, misalnya ulama’ semuanya atau ustadz semuanya. Tidak ! Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam diutus oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk seluruh manusia tanpa mengenal tingkatan dan jabatan. Pada zaman sahabatpun tidak semua sahabat merupakan orang alim. Imam Ghazali rahimahullah menulis dalam salah satu kitab karangannya bahwa diantara 124.000 sahabat yang ulama’nya hanya 2000 – 3000 orang saja. Hal ini diketahui dari nama-nama sahabat yang dikenal meriwayatkan hadits/termasuk sanad hadits dan mungkin juga menjadi pimpinan/utusan dakwah yang diutus oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang lainnya orang biasa tetapi semuanya bersama-sama/berjamaah membuat kerja dakwah yang dibentuk oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Walaupun tidak semua sahabat dikenal sebagai ulama’ tetapi mereka semuanya mengenal kepada Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga semuanya mendapat ridha dari Allah subhanahu wa ta’ala. Inilah keagungan usaha dakwah ummat akhir zaman.  Para sahabat umumnya adalah orang yang hidup di zaman jahiliyah dimana sebagian besar merupakan penjahat yang membawa dosa besar. Setelah mereka masuk Islam, semuanya disibukkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan kerja dakwah berjama’ah. Mesin dakwah yang dibuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diibaratkan seperti ember cucian yang siapa saja masuk ke dalamnya buat kerja dakwah akan berubah menjadi bersih. Sebagaimana orang yang mencuci pakaian maka selain pakaiannya bersih tangannya otomatis akan bersih.

Ummat Islam ini di ibaratkan pula oleh ulama adalah seperti air. Air ini jika ia mengalir atau bergerak maka air ini adalah suci dan mensucikan. Jika aliran sungai ini melewati kotoran-kotoran dipinggiran sungai, maka pinggiran sungaipun akan terbersihkan dari kotoran. Tetapi jika air ini tidak bergerak seperti air yang ada dikubangan, maka air yang seperti ini akan membawa banyak masalah, seperti menjadi tempat najis, banyak kotoran, sarang penyakit, tidak bersih, tidak sehat, dan tidak bisa mensucikan. Semua kotoran menumpuk di air kubangan, atau di air yang tidak bergerak, berbeda dengan air yang bergerak atau mengalir. Jadi kalau ummat islam ini tidak bergerak, maka masalah akan banyak timbul  dan ummat akan menjadi sarang kotoran sebagaimana air yang tidak bergerak yaitu menjadi air yang membawa masalah. Selama Ummat Islam dalam keadaan bergerak, berdakwah fissabillillah, maka Allah akan selesaikan semua masalah. Allah akan tolong ummat ini dan Allah akan ciutkan hati orang kafir terhadap ummat Islam. Dan Allah akan bersihkan kotoran-kotoran yang ada dalam hati ummat islam. Atas perkara inilah kita perlu membawa ummat ini untuk bergerak, pergi dijalan Allah untuk berdakwah. Inilah pergerakan memperbaiki ummat dalam Dakwah dan Tabligh, yaitu dengan mengirimkan rombongan dakwah pergi bergerak dijalan Allah dan memakmurkan mesjid Allah dengan amal-amal agama.

Jadi kerja dakwah yang dibuat ummat ini pertama kali untuk mengishlahkan dirinya sendiri. Kemudian setelah ishlah diri istiqamah maka secara perlahan tapi pasti akan berubah menjadi shaleh. Semua perbuatannya diupayakan sesuai contoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mulailah amal perbuatannya dari makan minum, pakaian, tidur, berjalan dan lainnya, yang asal hukumnya mubah menjadi bernilai ibadah disisi Allah subhanahu wa ta’ala. Shalat mulai tertib seperti cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mulai belajar ikram kepada orang lain. Jika kerja dakwah terus dilakukan, maka akan naik menjadi muslih, yaitu tidak semata-mata memperbaiki dairi tetapi mulai mengajak orang lain agar memperbaiki dirinya. Setelah mempunyai sifat muslih barulah nushratullah/pertolongan Allah akan datang pada ummat Islam.


Minggu, 08 Mei 2011

Istiqamah Ummat Akhir Zaman sebagaimana Diperintah

Sahabat berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ya Rasulullah, engkau telah beruban?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Ya aku tua karena Surat Hud. Masyaikh membertahu isi Surat Hud yang menjadikan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beruban adalah :
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَن تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا ۚ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya : “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar (istiqamah), sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS Hud : 112)
Allah menghendaki istiqamahnya Nabi dan ummatnya kepada apa yang menjadi perintahNya, bukan sekehendak kita. Ayat ini tidak berbunyi :
فَاسْتَقِمْ كَمَا شِئْتَ....
Artinya : “Maka istiqamahlah sebagaimana engkau suka………….
Ada orang yang berdakwah sesuai jadwal atau panggilan ceramah agama/siraman rohani atau karena ada pemurtadan, bencana alam, ada pendhaliman baru dibentuk laskar jihad dan sebagainya, maka bukan seperti ini yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Ini maknanya bukan istiqamah sebagaimana yang diperintah, tetapi sesuai dengan kebutuhan dan kesukaan. Istiqamah sebagaimana yang diperintah adalah dakwah atau usaha agama menuntut untuk terus dikerjakan hari demi hari tanpa henti karena semata-mata perintah dari Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana Nabi juga diperintah dalam QS Al Muzzammil, ayat 7 :
إِنَّ لَكَ فِي النَّهَارِ سَبْحًا طَوِيلًا
Artinya : “Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan (berenang) yang panjang (banyak)”.
Di sini ada kata سَبْحًا yang kata dasarnya artinya berenang bukan berjalan, dimana maksudnya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diibaratkan berenang di tengah-tengah manusia dan tidak boleh berhenti. Seorang yang sedang berenang kemudian berhenti berenang (diam saja), niscaya akan tenggelam dan membahayakan dirinya. Seorang yang berhenti usaha dakwah atau sewaktu-waktu dakwah kalau ada panggilan atau tidak bergerak istiqamah dalam usaha dakwah atau dakwah menurut seleranya sendiri atau kalau ingin saya berdakwah, maka ini bukan seperti yang diperintah oleh Allah. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam setelah diangkat menjadi Rasul atau utusan, dengan turunnya QS Al Muddatstsir, ayat 1-3 :
يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ قُمْ فَأَنذِرْ وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ
Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam  berkata kepada istrinya :
لاَرَيْحَتَ بَعْدَ الْيَوْمِ
Artinya : “Tidak ada istirahat lagi setelah hari ini….”
Jadi dikatakan istiqamah dalam dakwah, yaitu terus berdakwah dan selalu meningkatkan pengorbanan dalam dakwah. Apakah di suatu kampung ada pemurtadan, ada bencana alam dan sebagainya, tetap dibuat dakwah karena di satu pihak melaksanakan perintah Allah dan pihak yang lain menunaikan hak sesama muslim, yaitu saling menasihati untuk meningkatkan keimanan dan amal shalih dan menunaikan hak sesama manusia mengajak kepada Islam.
Kenapa Orang Indonesia Sulit Istiqamah?

Syaikh Khalid mengatakan Orang Indonesia sulit istiqamah karena negeri ini banyak bergantung kepada air (dikelilingi air), dimana sifat air adalah mudah ikut bentuk. Lihatlah kalau air dimasukkan ke wadah yang bundar, maka ikut bentuk bundar, dimasukkan dalam tempat yang kotak juga mengikuti tempatnya. Makanya orang Indonesia selalu ikut suasana dan keadaan yang sedang berlaku. Lihatlah di Markaz Pakistan banyak para mukimin orang markaz adalah orang-orang tua, semakin tua semakin istiqamah dan semakin menghabiskan masa untuk dakwah.Tetapi di Markaz Indonesia, semakin tua semakin istirahat, dan katakan yang muda saja yang di depan sebagai penerus generasi tua. Seharusnya semakin tua, semakin semangat tak mau kalah dengan yang muda, dan persiapan menghadapi kematian yang semakin dekat, semakin sungguh-sungguh. Kita lihat dalam kisah sahabat, bagaimana seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang bernama Abu Ayuub Al Anshary yang sudah berumur 93 tahun masih ikur berjihat di Turki bersaing dengan anak-anaknya dan akhirnya syahid.

Kenapa Orang Dakwah Ummat Akhir Zaman diperintah Ijtima’i.?

Hampir semua rukun Islam dijalankan secara Ijtima’i. Misalnya shalat diperintah dengan berjama’ah, puasa diperintah berjama’ah dalam bulan Ramadhan, zakat berjama’ah di baitul maal, dan haji diperintah berjama’ah di Makkah dan di bulan haji. Dari ibadah yang ijtima’iyat mustahil untuk mendatangkan ibadah kepada ummat dengan cara sendiri-sendiri (infiradi). Lihatlah keadaan sekarang ketika ummat Islam tidak bersatu dalam dakwah maka ummat Islam dalam keadaan tidak bersatu alias berpecah belah. Mereka ajarkan shalat kepada ummat karena infiradi sehingga hasilnya perpecahan. Tidak heran kalau ada masjid atau mushalla yang jamaah shalatnya sesuai dengan praktek pengamalan feqih ustadznya masing-masing, dan tidak mau datang ke masjid atau mushalla yang berbeda sesuai dengan kefahamannya. Demikian pula, ada ustadznya yang ingin menseragamkan cara shalat, seolah-olah kalau tak sama dengan sang ustadz maka shalatnya salah/bid’ah atau dia bukan golongannya. Misalnya kalau takbiratul ihram tangan tidak diletakkan di dada, maka selain tempat itu salah dan sebagainya. Padahal dalam Fadhail A’mal, Syaikh Zakaria rahimahullah menulis sekiranya orang mau mengerjakan shalat seperti cara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam niscaya akan dijumpai ada 200 perbedaan pendapat dari takbir hingga salam. Maka hanya dengan dakwah secara ijtima’iyat yang bisa menyatukan ummat akhir zaman di mana saja berada, dengan kesatuan hati, fikir, kerja dan amalan. Dengan kesatuan inilah maka ummat Islam akan dapat mendatangkan pertolongan Allah subhanahu wa ta'ala.

Senin, 02 Mei 2011

Maksud dan Keperluan Hidup Ummat Akhir Zaman

A.      Dalam Al Qur’an disebutkan maksud hidup ummat akhir zaman, pengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah :
1.       Dakwah, sebagaimana dalam QS Yusuf 108.
قُلْ هَـٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Artinya : “Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".
2.       Ibadah, sebagaimana dalam QS Adz Dzariyat 56 :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.".
3.       Khalifat , sebagaimana dalam QS Al Baqarah 30.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Artinya : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
Ketiga ayat di atas merupakan maksud hidup manusia menurut Al Qur’an. Perbedaan maksud hidup ummat terdahulu dengan ummat akhir zaman terletak dalam usaha dakwah, karena pada ummat terdahulu dan jin juga beribadah, dan ummat terdahulu juga termasuk khalifah.

B. Keperluan hidup ummat akhir zaman

1.       Sandang - Pakaian (malbusan)
2.       Pangan – Makan (ma’kulan)
3.       Rumah
4.       Kendaraan (markuban)
5.       Pernikahan
Perbedaan Orang Beriman dan Orang Kafir dalam Menggunakan Keperluan
Pakaian
Orang kafir menggunakan pakaian hanya sekedar untuk kesehatan dan menarik lawan jenis (pamer), sebagaimana seekor burung merak jantan memamerkan ekornya untuk menarik sang betina. Sedangkan orang beriman menggunakan pakaian untuk :
·         Dakwah, contohnya satu jama’ah menggunakan gamis, sorban, jubah, celana di atas mata kaki berakhlak menampilkan Islam, maka orang yang melihatnya akan dapat hidayah dan teringat dengan kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
·         Ibadah, misalnya menggunakan pakaian terbaik untuk pergi ke masjid karena perintah Allah
·         Khalifah, contohnya Hasan bin Ali radhiyallahu anhu menggunakan baju seharga 200 dirham. Melihat ini ada seorang Yahudi protes dan berkata,”Ya Hasan, apakah benar engkau keturunan Muhammad”. Hasan radhiyallahu anhu mengatakan,”Betul, kenapa? Kemudian orang Yahudi menyahut,”Kakek kamu mengatakan dunia adalah penjara bagi orang beriman dan syurga bagi orang kafir, tetapi kenapa sekarang seperti di syurga dan aku dalam keadaan miskin seperti di neraka. Engkau berpakaian mewah sedangkan aku pakaian compang camping.” Hasan bin Ali radhiyallahu anhu menjawab,”Sekiranya engkau tau apa yang akan engkau peroleh nanti di akhirat, pasti engkau tak akan berpakaian lebih buruk dari itu. Sedangkan kalau aku tahu apa yang akan kuperoleh nanti di akhirat niscaya aku akan menggunakan lebih dari ini. Ketahuilah, aku berpakaian bagus seperti ini agar orang miskin tahu bahwa aku orang kaya, sehingga mereka tidak takut minta sedekah padaku.”



Makan.

Orang kafir makan semata-mata untuk kesehatan dan mencari kekuatan badan agar dicapai kesenangan sesuai hawa nafsu. Sedangkan orang beriman, makan sesuai maksud hidupnya, yaitu :
·     Dakwah, contonya sati jama’ah dari Pakistan dikirim ke Prancis. Saat hendak makan tak ada tempat yang leleuasa untuk makan bersama, sehingga mereka makan di pematang dengan nampan berjama’ah. Sewaktu mereka makan, ada satu keluarga Nasrani datang kepada mereka dan bertanya, ”sedang apa kalian duduk bersama-sama?” Mereka menjawab, ”Kami Muslimin sedang makan, kenapa bertanya?” Keluarga Nasrani menjawab, ”Di rumah kami ada cahaya yang terang dan setelah kami melihatnya ternyata berasal dari nampan tempat kalian makan.” Kemudian jama’ah mendakwahi keluarga Nasrani tersebut dan akhirnya masuk Islam. Maka orang beriman, walaupun hanya makan, tapi niatkan untuk hidayah bagi orang lain.
   Cerita lain tentang jama’ah yang sedang silaturrahim/jaulah khususi, disediakan oleh tuan rumah air asin. Amir jama’ah perintah kepada makmurnya/anggotanya agar airnya diminum sampai habis. Saat jama’ah pulang, diceritakan bahwa istrinya berkata pada suaminya dengan penuh ketakutan, ”Tadi saya salah memasukkan garam ke minuman tamu kita, apakah mereka terlihat marah atau ada kesan yang lain?” Suaminya mengatakan, “Tidak! Bahkan mereka asyik minumnya sampai habis.” Istrinya berkata, “kalau begitu ikutlah bersama mereka pak, karena mereka bukan manusia biasa.” Allahu akbar…
·   Ibadat, contohnya di pinggir sungai Jamuna di Hindustan, hiduplah seorang yang dikabarkan dia seorang waliyullah. Saat sungai Jamuna naik dan agak bergelombang, banyak orang yang membawa dagangannya takut untuk menyebrang. Banyak orang mengatakan untuk datang ke waliyullah agar mendo’akannya. Saat orang datang untuk minta do’anya, wali itu mengelak tidak mau berkata apa-apa. Setelah didesak, akhirnya mau juga mengatakan, “katakan saja kepada sungai Jamuna bahwa kami diperintah oleh orang yang tak pernah makan dan tak pernah mendatangi istrinya, agar sungai berhenti bergelombang.” Orang-orang menjalankan apa yang dipedrintah sang wali tersebut, dan dengan idzin Allah, sungai itu tenang berhenti bergelombang/beriak. Istri waliyullah mendengar cerita tersebut, berkata kepada suaminya, “Sungguh engkau telah bohong, bukankah engkau makan setiap hari dan mendatangi aku juga?” Waliyullah itu menjawab, “Aku makan bukan untuk diriku, tapi aku makan karena melaksanakan perintah Allah, dan aku mendatangimu bukan untuk nafsuku, tapi semata-mata untuk menunaikan hak kamu sebagai istri saya.” Jadi sebagai orang yang beriman, maka kalau mau makan niat karena melaksanakan perintah Allah agar kuat ibadah, bukan karena tuntutan hawa nafsu. Sebagaimana ayat Al Qur’an, “Kuluu wasyrabuu…artinya makan dan minumlah kalian…
·        Khalifah, niat makan agar kita bisa berkhitmat kepada manusia yang lain, sebagaimana hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Memindahkan air dari embermu ke ember saudaramu, maka dihitung sedekah.” Ada hadits lain mengatakan, “Mengangkat barang saudaramu ke punggung untanya, maka dihitung sedekah.”

Rumah. 
Orang kafir membuat dan memakmurkan rumahnya untuk mengumpulkan barang-barang perhiasan dunia, semata-mata tempat berlindung dari panas, dingin dan hujan dan untuk kemewahan hidup, karena standar kesuksesan hidup bagi orang kafir adalah kemewahan. Sedangkan bagi orang yang beriman, rumah dibuat untuk ;

·         Dakwah, misalnya untuk menerima jama’ah masturah dan mendakwahi para tamu yang masuk ke rumah kita, dengan banyak mudzakarah kebesaran Allah, pentingnya amal agama dan mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
·         Ibadah, dimana Rasulullah memerintahkan agar rumah kita bercahaya bagi penduduk langit, jangan rumah kita seperti kuburan, tidak ada amalan yang bercahaya, maka rumah harus diisi dengan ta’lim, shalat sunnah, baca qur’an dan dzikir.
·         Khalifah, misalnya Nabi Ibrahim ‘alaihis salam selalu mencari orang lain untuk makan bersama di rumahnya. Demikian pula Al Mushtafa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, menganjurkan agar selalu berkhitmat kepada para tamu di rumah-rumah mereka.
Kendaraan
Orang kafir menggunakan kendaraan untuk pamer dan memudahkan hajat dunia mereka bahkan tak jarang juga untuk maksiat. Sedangkan orang beriman, menggunakan kendaraannya untuk :
·         Dakwah, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa barangsiapa yang memelihara kuda buat fi sabilillah, maka makannya, kotorannya dan kencingnya dihitung kebaikan. Maka kendaraan motor atau mobil yang digunakan fi sabilillah, maka semua yang dikeluarkan termasuk bensinnya dihitung kebaikan.
·         Ibadah, sebagaimana mafhum hadits, “Ada tiga akibat yang akan diperoleh oleh orang yang memiliki kendaraan, yaitu 1. Masuk syurga karena digunakan untuk ibadah, 2. Tak mendapatkan apa-apa karena hanya untuk urusan dunia semata, dan 3. Masuk neraka karena menggunakan kendaraan untuk maksiat.
·         Khalifah, misalnya kendaraan digunakan untuk mengantar jama’ah dakwah, menolong tetangga yang sakit atau kematian dan menunnaikan hajat-hajat makhluk.
Pernikahan
Orang kafir menikah untuk semata-mata nafsu dan keturunan, sedangkan orang beriman menikah untuk
·         Dakwah, misalnya keluar masturah bersama istri dan menjadikan istrinya sebagai da’iyah. Karena wanita lebih banyak dari laki-laki sehingga jika wanita tidak dibawa dakwah, maka agama hanya sampai di pintu rumah saja, tetapi jika wanita berdakwah, maka agama akan masuk ke dalam rumah bahkan masuk ke dapur-dapur semua orang.
·         Ibadah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “2 rakaat bagi orang yang sudah menikah sama dengan  70 rakaat yang belum menikah.” Jadi wanita mempercepat laki-laki menjadi 35 kali lebih cepat kepada Allah.
·         Khalifah, dimana dengan menikah kita bisa berkhidmat kepada orang di rumah kita, karena ada istri yang memasakkan makanan.